Kamis, 17 Oktober 2024

Perjalanan antar dimensi

Pada tanggal 22 Juni 2024, Aku, Ibuku, adikku dan beberapa teman lainnya berkunjung ke Kampung Naga di Tasikmalaya, ini kedua kalinya aku mendatangi tempat ini. kali ini aku membuat kegiatan kunjungan ke berbagai masyarakat adat bersama komunitasku yang bernama Anthropology For Kids, komunitas ini aku buat sebagai wadah untuk siapa saja yang ingin belajar budaya masyarakat adat yang ada di Indonesia. kunjungan pertama ini kita akan belajar mengenai sunda wiwitan, maka dari itu kami memilih Kampung Naga. Selain belajar budaya, kami juga pergi ke kampung naga untuk merasakan langsung hidup jauh dari fasilitas moderen yang menggunakan elektronik, sebab warga-warga setempat hidup tanpa listrik.
         Aku berdiri didepan gapura masuk menuju kampung Naga, mengingat kembali kisah enam tahun lalu saat aku berkunjung ke Kampung ini. Di balik gapura, ratusan anak tangga berderet, mengarah ke rumah-rumah warga, dari kejauhan sudah nampak lahan pertanian warga dan kandang kambing yang tertutup dengan dedaunan yang tidak di ketahui identitasnya. Aku menuruni anak tangga dengan perlahan untuk menunu rumah warga, Sambil kubayangakan seberapa lelah nantinya aku ketika pulang, menaiki ratusan tangga dibawah teriknya sinar matahari. Dari Letak kampung naga tidak terlau jauh dari kota Tasik malaya, kita cukup berkendara sekitar 45 menit dari stasiun Tasikmalaya menggunakan ojek online, waktu itu kami naik mobil. Ketika kita keluar dari gapura, maka kita sudah bisa melihat beberapa kios yang menjual oleh-oleh khas Kampung Naga dan jalan raya, namun yang membuatku kagum, udara antara Kampung Naga dan pasar diatasnya itu jauh berbeda, Udara di Kampung Naga cenderung jauh lebih segar, sedangkan udara di area kios dan parkiran tak begitu segar karena tercampur dengan polusi dari kenalpot kendaraan. Kami menaruh tas-tas kami didepan pintu rumah warga, kakiku sedikit tremor karena menggendong dua tas padat yang terisi oleh baju dan buku.

         Sore harinya di rumah warga, aku melihat ibu sang pemilik rumah memasak didapur dan menyalakan lampu petromaks, rumah tradisyonal khas kampung naga ini berbentuk kotak kecil (Kecil dalam standar rumah,) lantai dan dindingnya terbuat dari kayu. Ruangan paling depan, sebelah kanan merupakan ruang tamu sedangkan sebelah kirinya adalah dapur dan dibelakang dapur merupakan kamar. Karena rumah yang kecil, disetiap rumah hanya memiliki sekitar satu kamar. 

        Ketika matahari mulai tenggelam, aku masih menemani sang ibu pemilik rumah memasak, aku tak melihat ada kompor biasa didapur, yang aku lihat ada dua tungku api, sebelah kanan digunakan untuk memasak nasi dan sebelah kiri digunakan untuk memasak lauk. Ibu pemilik rumah sangat baik dan tau segalanya mengenai perkotaan terutama kota Jakarta, ternyata beliau pernah tinggal beberapa tahun di Jakarta, dan ia menceritakan mengenai peralatan dapur yang berbeda jauh dengan peralatan dapur yang berada dirumahnya, ibu tersebut bercerita dengan senyum lebarnya, membuat suasan cair dan tak ada rasa canggung dalam satu samalain. Menu makan malam kami ada ayam goreng, sayur oseng, kerupuk, gorengan dan sambel. Rasa nasi di kampung naga jauh lebih manis. Pekerjaan warga disini adalah berkebun atau jualan di pasar, aku juga mendapatkan informasi, bahwa ada juga yang bekerja jauh dari desa, namun aku tak tau lebih rincinya lagi, karena tak berani menggali informasi jauh lebih dalam.

       Udara malam disini sangat mudah meredupkan mataku yang makin lama mulai memberat, lampu metromaks memberikan sedikit kehangatan, kami tidur diruang tamu beralas kasur gulung berbulu, dan tubuhku meringkuk dan bulu kudugku berdiri karena suasana malam yang mencengkram. Ketika pagi menyapa, aku dan temanku pergi kekamar mandi bersama, membilas muka dan berganti baju. Kamar mandi disini juga sangat unik, kamar mandi tipe pertama, bentuknya sama seperti kamar mandi umum, hanya saja jauh lebih sempit dalamnya, dan temboknya ada yang terbuat dari bambu atau semen, terdapat pancuran, air akan terus menerus mengalir, jadi tidak bisa di matikan air pancurannya, kamar mandi ini hanya untuk dipakai mandi dan cuci piring. Sedangkan kamar mandi tipe kedua bisa dipakai untuk mandi dan buang air besar, temboknya terbuat dari bambu dan ada juga yang terbuat dari semen, kamar mandi ini dibangun diatas kolam ikan, dan untuk kelosetnya sendiri tak ada, hanya bolongan kotak dan ikan yang berenang-renang dibawahnya, jadi ketika anda buang air besar disni, dan merasakan bosan, anda bisa terhibur dengan hanya melihat ikan yang menari-nari dibawah.

         Aku dan beberapa temanku akhirnya berkeliling Kampung Naga, dipandu oleh seorang pemuda yang merupakan warga lokal. Tempat yang kami kunjungi pertama adalah rumah disamping Mesjid rumah itu tempat ditaruhnya peralatan musik dan dipakai untuk pertemuan-pertemuan tertentu. Setelah itu kami melihat satu rumah yang tak boleh dimasuki dan di foto, bahkan warga biasa setempat tak diperkenankan untuk masuk, rumah tersebut digunakan untuk mengadakan semacam ritual dan acara lainnya yang dihadiri oleh orang-orang penting di Kampung Naga. Kami melanjutkan perjalanan kami, menyusuri sawah yang begitu luas dan sebelah kanan kami terdapat sungai yang sangat deras arusnya. Kakiku melangkah meninggalkan satu petak sawah terakhir, dan menenggelamkan kaki di sungai yang begitu deras arusnya. Sambil main air, aku juga meneguk secangkir teh tawar, suasananya syahdu, dan angin sepoy-sepoy disini membuatku ingin menari mengikuti gerakan arus air. Selesai bermain air dan membersihkan diri, bau masakan dari dapur membuat perutku bernyanyi-nyanyi, aku membantu ibu pemilik rumah untuk memasak sayuran dan mengulek sambel, kami juga membahas mengenai perkebunan dan sawah di sekitar Kampung Naga, dan sayuran yang mulai naik kembali harganya di pasar. Siang itu beberapa rodio tersetel entah dari mana asalnya, para pemuda bermain handpone di warung atas yang terdapat sinyal dan tempat pengisian daya handpone, kucing-kucing bermain didepan pintu rumah, anak-anak ayam bermain dibawah tubuh induknya, aku dan salah satu warga setempat Membicarakan mengenai orang-orang yang tingal di kampung Naga, membahas umur, dan apa pekerjaannya. Pukul dua belas siang aku dan yang lainnya bersiap meninggalkan kampung Naga, kami berfoto bersama dengan beberapa warga disekitar tempat kami tinggal, lalu kami berjalan menjauh dari rumah-rumah yang saling berdekatan dan mulai menaiki satu persatu tangga. Informasi yang aku dapatkan dari warga setempat Kampung Naga: Total rumah tradisyonal di Kampung Naga ada 111. 

        Sistem pemerintahan didesa ini dipegang oleh orang keturunan, Pak Uncen seorang pemaku adat paling utma dan Pak Lebek merupakan seorang pemaku Agama. Ada banyak orang asli Kampung Naga juga yang sudah tidak tinggal di Kampung Naga melainkan tinggal di desa atas, orang-orang itu disebut Sananda, mereka meninggalkan Kampung Naga salah satu penyebabnya adalah karena tak ada cukup ruang lagi untuk membangun ruamh di Kampung Naga. Keluar dari kawasan kampung naga, hatiku mulai merindukan Jogja dengan senjanya dan langit malamnya, dengan senang aku berpamitan dengan Tasikmalaya, “Terimakasih Tasikmalaya, semoga aku bisa menjelajahi keseluruhanmu diwaktu yang akan mendatang nanti <3”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Borobudur

Ini sekitar kali ke 4 aku mengunjungi Borobudur. Kali ini aku mengunjung borobudur karena ada kelas sejarah sekaligus arkeologi bersama tema...