Setelah aku meninggalkan dusun Konggang, aku dan yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju Waerebo. Perjalanan yang ditempuh menuju Waerebo bisa dibilang panjang, pertama kita harus meninggalkan pualu Nuca Molas menggunakan motor laut, lalu naik mobil atau trek untuk menuju tempat jalur treking menuju Waerebo.
Sebelum
sampai di desa Waerebo, kita harus mendaki bukit sekitar dua sampai tiga jama,
sama lamanya dengan mendakai gunung andong. Sepanjang perjalanan ada dua anjing,
yang selalulu mengikuti aku dan teman-teman lainnya, dua anjing itu seolah
menuntun kami berjalan menuju desa.
Semakin
namafku terasa berat, aku merasa aku semakin menikmati alam disini, semakin akrap
aku dengan tumbuhan, tanah, air dan udara di sini. Jalanannya tak terlalu
curam, hanya saja sedikit berkerikil. Setelah dua jam, waktu yang aku tempuh,
kakiku menginjak wilaya perdesaan Waerebo, rumah-rumah berbentuk kerucut ini
hanya ada enam karena lahannya yang terbatas.
Ketika
semua rombonganku sudah berkumpul, kami beristirahat di rumah Niang Gena Maro,
rumah ini kusus untuk orang-orang pendatang dari luar. Rumahnya berbentuk
kerucut, hanya terdapat satu ruangan, namun karena rumah Niang Gena Maro
merupakan rumah kusus untuk tamu, rumah ini memiliki dapur yang terpisah. Hanya
ada satu ruangan di rumah ini, ruangannya berbentuk lingkaran, masing-masing
kasur merekat dengan dinding, sedangkan bagian tengahnya adalah tempat untuk
makan dan bisa menjadi ruang tamu, setiap kasur tak diberi pembatas, karena
kasurnya benar-benar merekat satu sama lain.
Setelah
selesai beristirahat, sekitar jam enam sore, kami mengunjungi rumah Niang
Gendang, untuk mendengarkan pertunjukan musik asal Waerebo, alat musik yang
digunakan berupa gendang yang bahan dan motifnya tak jauh berbeda dari gendang
Jawa. Musik yang dibawakan membawa kisah mengenai, pengalaman diri dalam
menjalani hidup, dan juga menceritakan ajaran-ajaran dari leluhur. Nyanyiannya
membuat bulukudugku berdiri dan kakiku bergetar, lagunya terdengar begitu
mistis dan menyayat hati, memang awalnya aku tak mengerti artinya, namun nada
dan logat suaranya sudah cukup banyak menyampaikan pesan.
Pagi tiba, aku diselimuti embun dan tanganku memegang secangkir kopi. Waktu itu aku habiskan satujam untuk berfota, dan sisahnya aku berbincang dengan kaka-kakak dan pemuda setempat, waktu berlalu begitu cepat, membuatku tak rela meninggalkan Waerebo. Setelah selesai sarapan aku dan yang lainnya bergegas untuk menyiapkan barang lalu turun kembali ke Labuan Bajo, setelah itu kami berpisah, pulang kekota masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar