Kamis, 19 Juni 2025

Ekspedisi Banyuwangi

Pada tanggal 12 Mei 2025. Aku dan komunitasku pergi ekspedisi bersama di desa papring banyuwangi jawa timur. aku tidak akan menceritakan seluruh ditailnya dengan begitu jelas karena pasti telah ada teman lain yang menuliskannya, aku akan menuliskan apa saja yang membuatku takjub dari desa papring. Perjalanan ini berahir di tanggal 18 Mei 2025.

Desa papring merupakan desa yang sangat luas. masuk dalam suku osing dan di setiap wilayah desa papring ini memiliki komunitasnya masing-masing. Kali aku mengunjungi komunitas Batara. Komunitas ini menampung anak-anak untuk belajar bersama alam "semua orang itu guru, alam raya sekolahku." Memiliki jadwal bersama untuk latihan tari, gamelan, membaca dan jelajah alam. Ini hal yang sangat menarik, bahwa sebenarnya belajar memang tidak harus di dalam ruangan tertutup. Kereatifitas anak dibangun didalamnya, adanya kebebasan beropini dan ber ekspresi, diskusi terbuka tanpa perlu rasa takut. Dihari pertama aku sangat terkujut karena bisa langsung beradu lelucon dengan teman-teman batara.

Selama hampir seminggu aku dan teman-teman Antropology for Kidz berada di desa Papring tepatnya dikomunitas Batara. ada beberapa hal yang aku takjubkan dari apa yang aku lihat dan cerita dari orang tua warga setempat. Seperti contohnya tentang pengaruh budaya Madura di banyuwang.

Terkejut aku, ketika mendengarkan orang-orang berbicara bahasa campur antara osing dan madura. menurut cerita remaja dan orangtua setempat. Menurut cerita remaja dan orangtua setempat, itu bukan hal baru, malah sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Mereka menyebutnya “bahasa percampuran” yang secara alami tumbuh dari kehidupan sehari-hari yang saling berdampingan antara dua kelompok etnis ini. Bagi generasi muda, ini terasa biasa. Mereka bicara Osing ke satu teman, lalu beralih Madura saat menanggapi orang tuanya, tanpa merasa itu sesuatu yang aneh.

Waktu aku dan beberapa teman batara sedang bersantai di ruang tamu, salah satu rumah warga, teman-teman batara bercerita, kalau orang Madura mulai datang ke daerah mereka sejak zaman Belanda. Katanya dulu, tanah-tanah di Banyuwangi banyak yang belum tergarap. Banyak orang dari Madura, yang terkenal rajin dan ulet, datang untuk membuka lahan, bekerja di perkebunan, atau berdagang ikan di pesisir. Lama-lama, mereka tidak hanya tinggal sementara, tapi menetap dan membangun keluarga.

Yang menarik, menurut cerita yang aku dapatkan, meskipun mereka berasal dari pulau yang berbeda, warga Madura yang tinggal di sana tidak pernah benar-benar menjadi “orang luar.” Mereka pelan-pelan masuk ke kehidupan sosial masyarakat, ikut arisan, tahlilan, bahkan menjadi bagian penting dari kegiatan desa. Ada yang menikah dengan orang Osing, ada pula yang jadi tokoh masyarakat.
Tidak jarang juga aku bertemu dengan orang tua dan remaja campuran osing dan madura. Dua darah tersebut telah menjadi satu dan susah untuk diuraikan. Ketika aku sedang duduk dirumah induk semang bersama tuan rumah dan keluarganya. Telingaku panas, aku mencoba fokus mendengarkan orang sekitarku berbicara dengan cepat dan begitu asik sepertinya, karena juga diiringi dengan tawa renyah yang tidak tau apa konteksnya tapi pada akhirnya aku juga ikut tertawa. Ketka aku bertanya, mereka pakai bahasa apa, ternyata masing-masin orang ada yang bicara menggunakan bahasa osing dan madura. Luarbiasa membingungkan. Budaya bahasa disini memang seru untuk dipelajari, namun aku mengangkat bendera putih untuk mendalaminya, karena begitu rumitnya.

Dari yang kulihat dan kudengar, hubungan antara orang Madura dan Osing bukan sekadar hidup berdampingan, tapi sudah saling menyatu. Mereka memang berasal dari latar belakang berbeda, tapi tidak menutup kemungkinan untuk saling memengaruhi dan saling melengkapi. Justru di sinilah aku bisa melihat bentuk nyata dari keberagaman Indonesia yang katanya “berbeda-beda tetapi tetap satu.” Di Banyuwangi, perbedaan itu bukan jadi masalah, tapi malah jadi kekuatan.

Kalau bicara soal identitas, orang di sini tidak merasa harus memilih antara menjadi Osing atau Madura. Mereka bisa dua-duanya, atau bahkan tidak terlalu peduli dengan sebutan itu. Yang penting adalah bagaimana mereka bisa hidup damai, saling menghormati, dan tetap menjaga nilai-nilai yang diajarkan oleh leluhur masing-masing. Toh juga sebenarnya tidak ada manusia yang memiliki hanya satu garis keturunan.

Perjalanan ini memberiku banyak pelajaran. Ternyata identitas itu bukan hanya soal darah atau bahasa, tapi juga soal pengalaman hidup, tentang bagaimana kita tumbuh dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Di Banyuwangi, aku belajar bahwa keberagaman bisa menjadi kekuatan, asalkan ada rasa saling menghargai.

selain itu disini masih mempertahankan membaca lontar yusup. meskipun sudah tidak di daun lontar atau di kayu lagi, namun sudah dalam merupakan bentuk buku, namun tetap di lestarikan dan di pelajari

Pola makan warga dsini juga begitu unik. Sehari bisa hanya makan berat sekali, dan sisahnya hanya makan makanan ringan, namun sayang ketika aku bertanya ke pada warga sektar, tidak ada yang begitu yakin menapa budaya makan itu bisa terjadi. Namun tak ada dari kami, tim Antropology for Kidz yang bisa mengikuti budaya makan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ekspedisi Banyuwangi

Pada tanggal 12 Mei 2025. Aku dan komunitasku pergi ekspedisi bersama di desa papring banyuwangi jawa timur. aku tidak akan menc...