Enam hari aku bersama desa Tenganan, kami mengukir kenangan bersama disetiap tempatnya, membuat film penuh derama tanpa harus direkam, menuliskan semua kisah dalam ingatan, menandai setiap tempat yang mengingatkanku akan sebuah peristiwa.
Aku
memperhatikan jalan desa Tenganan, melihat rumput hijau yang tumbuh dan
kerbau-kerbau yang tertidur pulas diatasnya. Desa Tenganan merupakan salah satu
desa tertua di Bali , keunikan desa ini adalah memiliki bank sampah, jadi sampah-sampah di Tenganan
sudah dikelola dengan baik. Aku
berkunjung di desa ini, karena mengikuti pengabdian masyarakat bersama IDE Indonesia , kegiatan ini memiliki
tim kerja yang terdiri beberapa divisi yaitu, kesling (Kesehatan dan
Lingkungan), pendidikan, ekowis (Ekonomi dan Wisata) aku bergabung dalam divisi
pendidikan yang tugasnya menyebarkan literasa kepada anak-anak usia delapan sampai tiga belas
tahun, belajar public speaking dan bahasa Inggris.
Desa bak
kisah dalam novel Narnia yang pernah aku
baca, memilki hutan yang indah dan adat istiadat nya sangat kental .
Orang-orang disini juga ramah-ramah, namun usia remaja keatas memang cenderung
lebih pemalu, anak-anak usia tiga belas tahun kebawah masih sering aktif
bermain diluar. Hari pertama kami menjalankan proker, yang kami lakukan adalah
pendekatan dengan anak-anak sekitar, kami berusaha memperkenalkan diri dan
meyakinkan mereka untuk tidak canggung kepada kami.
Karena usia ku gak begitu jauh dengan beberapa anak dalam sasaran proggram pendidikan, memudahkan akau untuk berbaur dengan mereka sehingga kami bisa belajar bersama dengan baik. Aku bisa mengerti perasaan mereka jika sedikit sulit mempercayai orang asing dan malas rasanya, ketika mengetahui bahwa ini adalah program belajar. Pada akhirnya aku dan rekanku yang lainnya memutuskan untuk membuat semua sesi belajar menjadi lima puluh persen belajar dan lima puluh persen bermain.
Ketika
aku dan rekan-rekan lainnya mendapatkan kesempatan untuk berkeliling desa. Aku
masih sering melihat ibu-ibu dan seorang gadis yang mengenakan kebaya ketika dirumah, sebab kebaya merupakan
pakaian wajib untuk sembahayang bagi agama hindu. Jarang sekali ibu-ibu berkumpul disuatu titik untuk
bergosib, remaja perempuannya tak berkeluyuran diluar rumah, sedangkan remaja
laki-lakinya bermain game diwarung yang menyediakan WIFI. Warung ini hanya menyediakan
menu babi saja, sate daging babi, sate usus babi dan sate perbabian lainnya, membuatku
kami yang bergama muslim hanya bisa mencicipi aromanya lezatnya saja.
Momen
yang paling aku ingat ketika aku berada di Tenganan adalah, ketika aku
berbicara dengan para orang tua. Aku ikut bergabung ngobrol dengan ibu-ibu yang
berkumpul didepan rumah, masing-masing membicarakan masa depan anak-anaknya, ibu-ibu
itu juga memberitauku mengenai sistem sekolah di desa tersebut, pembelajarannya
seperti pelajaran pada umumnya, hanya saja ada pelajaran bahasa Bali yang masih
dilestarikan.
Seorang
kakek-kakek mengajakku berkunjung kerumahnya, rumahnya seperti rumah Bali pada umumnya, ia
memperlihatkan koleksi kain tenunnya dari seluruh Indonesia. Dia juga memperlihatkan kartu nama perusahaan yang menawarkan
semacam pekerjaan dan kerjasama , aku
bisa merasakan betapa si Kakek sangat menikmati masa mudanya
Sebelum aku meninggalkan Bali, aku sempat menonton perang pandan, namanya tradisi Mekare-kare, uparaca ini untuk menghormati leluhur, dan kata anak-anak laki-laki disana, perang pandan ini juga tanda bahwa mereka tanggu dan kuat, yang mengikuti kegiatan ini adalah anak laki-laki hingga bapak-bapak berusia limapuluhan, perempuan tak turut andil dalam upacara ini, hanya laki-laki saja yang ikut.
Tak
terasa, waktu berjalan begitu cepat, namun sudah ada banyak kenangan yang aku
lalui disini, hanya satu yang aku sayangkan ketika aku berada di Bali, aku
belum sempat berkenalan lebih dekat lagi dengan pantai disini, tak ada waktu
untuk berenang dipantai, karena perjalanan kali ini memang fokusnya untuk kegiatan bersama
masyarakat adat.