Minggu, 27 Oktober 2024

Salah Satu Bukti Bahwa Surga Itu Nyata

Banda Neira adalah sekumpulan pulau kecil di Kepulauan Banda, Maluku, Indonesia yang menyimpan sejarah dan pesona alam yang memukau. Dulu, Banda Neira adalah pusat perdagangan rempah-rempah yang menjadi buruan para pedagang dari berbagai bangsa. Pada abad ke-16 hingga ke-17, pulau ini adalah surga bagi cengkeh dan pala, dua komoditas yang begitu berharga hingga disebut “emas yang dapat tumbuh di pohon.” Para pelaut dari Portugis, Spanyol, hingga Inggris datang berjudi nyawa melintasi lautan untuk bisa mencicipi kekayaan alam yang tersembunyi di pulau ini. Secara geografis, Banda Neira memang bukan pulau besar, dengan tanah yang subur dan dikelilingi laut biru yang jernih. Meski demikian, pulau ini bagaikan tempat lahir dari berbagai kisah kolosal: perselisihan antarbangsa, kejayaan dan kehancuran, kekayaan dan derita. Penduduk aslinya, yang awalnya hidup damai dan bercocok tanam, menjadi saksi betapa rempah-rempah itu membawa kedamaian sekaligus malapetaka bagi tanah mereka. Sejak kedatangan bangsa Eropa, Banda Neira menjadi saksi ketamakan yang mengerikan. Tahun 1621 menjadi salah satu titik kelam ketika Jenderal Belanda, Jan Pieterszoon Coen, memerintahkan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk asli Banda yang dianggap menghalangi ambisi Belanda untuk memonopoli perdagangan pala. Tanah Banda yang penuh harapan berubah menjadi ladang darah dan tangisan, puluhan ribu penduduk dibunuh, sisanya diperbudak atau terusir dari tanah mereka sendiri. Namun, di balik tragedi tersebut, Banda Neira tetap menampilkan keelokannya. Gunung Api Banda, yang berdiri kokoh di tengah kepulauan ini, menjadi simbol ketahanan alam Banda yang terus hidup meski diselubungi sejarah kelam. Gunung ini seakan-akan memberi peringatan sekaligus pengingat bagi mereka yang berkunjung, bahwa tanah ini pernah bergolak dalam bara konflik dan penjajahan. Alam bawah laut di Banda Neira juga menyimpan keajaiban tersendiri. Lautan yang memeluk pulau ini dihuni oleh terumbu karang yang memikat dan kehidupan laut yang penuh warna. Ikan-ikan tropis menari dalam harmonisasi alam yang tenang, seolah membawa pesan kedamaian yang berbeda dari kisah-kisah perang dan perebutan kuasa di atasnya. Banyak penyelam dari penjuru dunia datang untuk menyaksikan keindahan ini, dan mereka akan menemukan perairan yang bening seperti kristal, penuh dengan warna-warni kehidupan laut yang mengagumkan. Bukan hanya alamnya, Banda Neira juga menyimpan banyak peninggalan sejarah yang masih berdiri tegak, meski beberapa di antaranya sudah lapuk oleh waktu. Benteng Belgica, misalnya, adalah sebuah benteng besar peninggalan Belanda yang berdiri kokoh di puncak bukit, menatap lepas ke laut. Di dalamnya, tersimpan kisah tentang perjuangan para pahlawan lokal yang melawan penjajah dengan gigih. Benteng ini seakan menjadi saksi bisu dari pergolakan dan tekad kuat orang-orang Banda dalam mempertahankan tanah mereka. Kini, Banda Neira menjadi destinasi wisata sejarah dan alam yang mengundang para penjelajah dari berbagai negara. Keindahan pulau ini berpadu dengan ketenangan yang murni. Rumah-rumah kolonial tua di sepanjang jalan utama Banda masih terjaga keasliannya, memberikan atmosfer masa lalu yang mendalam bagi para pengunjung. Museum dan bangunan bersejarah, seperti rumah pengasingan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, dua tokoh besar Indonesia yang diasingkan di Banda oleh pemerintah kolonial, juga menjadi daya tarik tersendiri. Meski masa-masa kelam itu sudah berlalu, bayangan sejarah tetap mengintip dari setiap sudut pulau ini, mengajarkan kita tentang kekuatan dan harga diri. Banda Neira adalah potret Indonesia yang tak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga menyimpan keperihan sejarah yang tak boleh terlupakan. Saat ini, penduduk lokal menyambut hangat siapa saja yang datang. Mereka mewarisi senyum hangat dan keramahan yang seolah menjadi simbol kemenangan mereka atas penjajahan. Banda Neira mengajarkan kita tentang keharmonisan antara alam dan manusia, tentang bagaimana luka bisa pulih, dan keindahan bisa tetap terjaga di tengah deru ombak dan jejak-jejak kolonial. Pulau Banda Neira bukan sekadar titik di peta, melainkan sebuah bab dalam perjalanan panjang nusantara. Ia adalah saksi yang bisu namun penuh cerita, memancarkan keindahan dan menyimpan rahasia-rahasia masa lalu. Bagi yang datang, Banda Neira menawarkan ketenangan, keindahan, dan sekelumit renungan tentang arti kehidupan, perjuangan, dan kedamaian.

Rabu, 23 Oktober 2024

Ilusi yang menjanjikan

Di beberapa bagian wilayah yang mulai dislimuti salju, benua Eropa terus menghantui pikiran dan hatiku, terus bersemayam dalam mimpi, mengganggu hari-hariku, membuatku takut akan masa depan, begitu besar dan luas, "Apa aku bisa mengumpulkan makna hidupku di sana?" Dilindungi waktu yang berbeda dengan tempatku berpijak sekarang, kemajuan dan perkembangan pendidika yang amat jauh berbeda, "Apa kapasitasku cukup untuk mewujutkan semua yang aku inginkan?" Gedung-gedung yang menjulang tinggi, kota tua dan sejarahnya yang bersembunyi, bayang-bayangnya terus memantul ke dalam benakku. Di pagi hari, cahaya matahari memayungi puncak Pegunungan Alpen, cahayanya memantul ke segala arah karena salju. Di lembah-lembah yang membentang di bawahnya, kota-kota tua berdiri dengan bangunan batu yang usianya telah melampaui generasi demi generasi. Menara-menara gereja di Praha dan Florence menusuk langit biru, mengumandangkan suara lonceng yang menggema, membawa kita pada ingatan akan masa-masa di mana para raja dan ksatria melangkah di antara tembok-tembok kastil. Di selatan, Laut Mediterania memeluk pantai-pantai Eropa dengan lembut, mencapai pasir-pasir pantai Spanyol, Italia, dan Yunani dengan buihnya. Di sanalah, pada masa lalu, para filsuf berjalan di bawah pohon zaitun, memikirkan makna hidup, menulis puisi tentang dewa-dewi, tentang cinta dan takdir. Di setiap sudut negeri, debu dari peradaban kuno masih tercium di udara, membawa napas panjang sejarah yang tak pernah usai. Namun Eropa bukan hanya tentang masa lalu yang berdiam dalam kesunyian. Di kota-kota besar seperti Paris, Berlin, dan London, hidup berdenyut dengan cepat, lampu-lampu kota menyala saat malam tiba, menerangi jalanan yang sibuk dengan suara tawa, percakapan, dan musik. Di kafe-kafe, orang-orang duduk, menyeruput kopi hitam, dan berbincang tentang politik, seni, dan kehidupan. Jalanan berbatu yang dahulu dilalui oleh kuda kini dipenuhi oleh kendaraan moderen dan manusia dengan pliharaannya, berpacu dengan waktu, namun tetap menyimpan keindahan dalam setiap detail. Di Eropa Timur, angin membawa cerita lain. Dingin, namun penuh kekuatan. Negara-negara seperti Rusia dan Polandia menyimpan kisah-kisah tentang revolusi, tentang perjuangan dan harapan yang tak pernah padam. Di bawah langit yang kelabu, rakyatnya bertahan, membangun kembali kehidupan mereka dengan tangan yang kokoh dan jiwa yang penuh keyakinan. Mereka berdansa di bawah bintang-bintang saat malam panjang musim dingin tiba, meski sejarah telah menguji mereka berulang kali. Eropa adalah perpaduan yang sempurna antara waktu yang lalu dan masa kini, antara keindahan alam yang tak tersentuh dan peradaban manusia yang dinamis. Di satu sisi, gunung-gunung dan hutan-hutan menjaga rahasia purba, sementara di sisi lain, teknologi dan kemajuan terus menulis bab-bab baru dari kisah benua ini. Pada akhirnya, Eropa adalah sebuah puisi panjang tentang kehidupan, kematian, cinta, dan kehilangan. Sebuah simfoni yang dimainkan di antara angin laut utara dan matahari selatan. Sebuah tempat di mana mimpi-mimpi diciptakan, tumbuh, dan terkadang hilang, namun selalu meninggalkan jejak yang tak terlupakan di dalam hati mereka yang pernah merasakannya. Taklama aku juga akan merasakannya, secara nyata, tidak hanya melalui buku dan internet. Ibu dan semesta bilang, tidak ada yang mustahil jika kita memang benar-benar ingin menggapainya.

Kamis, 17 Oktober 2024

Perjalanan antar dimensi

Pada tanggal 22 Juni 2024, Aku, Ibuku, adikku dan beberapa teman lainnya berkunjung ke Kampung Naga di Tasikmalaya, ini kedua kalinya aku mendatangi tempat ini. kali ini aku membuat kegiatan kunjungan ke berbagai masyarakat adat bersama komunitasku yang bernama Anthropology For Kids, komunitas ini aku buat sebagai wadah untuk siapa saja yang ingin belajar budaya masyarakat adat yang ada di Indonesia. kunjungan pertama ini kita akan belajar mengenai sunda wiwitan, maka dari itu kami memilih Kampung Naga. Selain belajar budaya, kami juga pergi ke kampung naga untuk merasakan langsung hidup jauh dari fasilitas moderen yang menggunakan elektronik, sebab warga-warga setempat hidup tanpa listrik.
         Aku berdiri didepan gapura masuk menuju kampung Naga, mengingat kembali kisah enam tahun lalu saat aku berkunjung ke Kampung ini. Di balik gapura, ratusan anak tangga berderet, mengarah ke rumah-rumah warga, dari kejauhan sudah nampak lahan pertanian warga dan kandang kambing yang tertutup dengan dedaunan yang tidak di ketahui identitasnya. Aku menuruni anak tangga dengan perlahan untuk menunu rumah warga, Sambil kubayangakan seberapa lelah nantinya aku ketika pulang, menaiki ratusan tangga dibawah teriknya sinar matahari. Dari Letak kampung naga tidak terlau jauh dari kota Tasik malaya, kita cukup berkendara sekitar 45 menit dari stasiun Tasikmalaya menggunakan ojek online, waktu itu kami naik mobil. Ketika kita keluar dari gapura, maka kita sudah bisa melihat beberapa kios yang menjual oleh-oleh khas Kampung Naga dan jalan raya, namun yang membuatku kagum, udara antara Kampung Naga dan pasar diatasnya itu jauh berbeda, Udara di Kampung Naga cenderung jauh lebih segar, sedangkan udara di area kios dan parkiran tak begitu segar karena tercampur dengan polusi dari kenalpot kendaraan. Kami menaruh tas-tas kami didepan pintu rumah warga, kakiku sedikit tremor karena menggendong dua tas padat yang terisi oleh baju dan buku.

         Sore harinya di rumah warga, aku melihat ibu sang pemilik rumah memasak didapur dan menyalakan lampu petromaks, rumah tradisyonal khas kampung naga ini berbentuk kotak kecil (Kecil dalam standar rumah,) lantai dan dindingnya terbuat dari kayu. Ruangan paling depan, sebelah kanan merupakan ruang tamu sedangkan sebelah kirinya adalah dapur dan dibelakang dapur merupakan kamar. Karena rumah yang kecil, disetiap rumah hanya memiliki sekitar satu kamar. 

        Ketika matahari mulai tenggelam, aku masih menemani sang ibu pemilik rumah memasak, aku tak melihat ada kompor biasa didapur, yang aku lihat ada dua tungku api, sebelah kanan digunakan untuk memasak nasi dan sebelah kiri digunakan untuk memasak lauk. Ibu pemilik rumah sangat baik dan tau segalanya mengenai perkotaan terutama kota Jakarta, ternyata beliau pernah tinggal beberapa tahun di Jakarta, dan ia menceritakan mengenai peralatan dapur yang berbeda jauh dengan peralatan dapur yang berada dirumahnya, ibu tersebut bercerita dengan senyum lebarnya, membuat suasan cair dan tak ada rasa canggung dalam satu samalain. Menu makan malam kami ada ayam goreng, sayur oseng, kerupuk, gorengan dan sambel. Rasa nasi di kampung naga jauh lebih manis. Pekerjaan warga disini adalah berkebun atau jualan di pasar, aku juga mendapatkan informasi, bahwa ada juga yang bekerja jauh dari desa, namun aku tak tau lebih rincinya lagi, karena tak berani menggali informasi jauh lebih dalam.

       Udara malam disini sangat mudah meredupkan mataku yang makin lama mulai memberat, lampu metromaks memberikan sedikit kehangatan, kami tidur diruang tamu beralas kasur gulung berbulu, dan tubuhku meringkuk dan bulu kudugku berdiri karena suasana malam yang mencengkram. Ketika pagi menyapa, aku dan temanku pergi kekamar mandi bersama, membilas muka dan berganti baju. Kamar mandi disini juga sangat unik, kamar mandi tipe pertama, bentuknya sama seperti kamar mandi umum, hanya saja jauh lebih sempit dalamnya, dan temboknya ada yang terbuat dari bambu atau semen, terdapat pancuran, air akan terus menerus mengalir, jadi tidak bisa di matikan air pancurannya, kamar mandi ini hanya untuk dipakai mandi dan cuci piring. Sedangkan kamar mandi tipe kedua bisa dipakai untuk mandi dan buang air besar, temboknya terbuat dari bambu dan ada juga yang terbuat dari semen, kamar mandi ini dibangun diatas kolam ikan, dan untuk kelosetnya sendiri tak ada, hanya bolongan kotak dan ikan yang berenang-renang dibawahnya, jadi ketika anda buang air besar disni, dan merasakan bosan, anda bisa terhibur dengan hanya melihat ikan yang menari-nari dibawah.

         Aku dan beberapa temanku akhirnya berkeliling Kampung Naga, dipandu oleh seorang pemuda yang merupakan warga lokal. Tempat yang kami kunjungi pertama adalah rumah disamping Mesjid rumah itu tempat ditaruhnya peralatan musik dan dipakai untuk pertemuan-pertemuan tertentu. Setelah itu kami melihat satu rumah yang tak boleh dimasuki dan di foto, bahkan warga biasa setempat tak diperkenankan untuk masuk, rumah tersebut digunakan untuk mengadakan semacam ritual dan acara lainnya yang dihadiri oleh orang-orang penting di Kampung Naga. Kami melanjutkan perjalanan kami, menyusuri sawah yang begitu luas dan sebelah kanan kami terdapat sungai yang sangat deras arusnya. Kakiku melangkah meninggalkan satu petak sawah terakhir, dan menenggelamkan kaki di sungai yang begitu deras arusnya. Sambil main air, aku juga meneguk secangkir teh tawar, suasananya syahdu, dan angin sepoy-sepoy disini membuatku ingin menari mengikuti gerakan arus air. Selesai bermain air dan membersihkan diri, bau masakan dari dapur membuat perutku bernyanyi-nyanyi, aku membantu ibu pemilik rumah untuk memasak sayuran dan mengulek sambel, kami juga membahas mengenai perkebunan dan sawah di sekitar Kampung Naga, dan sayuran yang mulai naik kembali harganya di pasar. Siang itu beberapa rodio tersetel entah dari mana asalnya, para pemuda bermain handpone di warung atas yang terdapat sinyal dan tempat pengisian daya handpone, kucing-kucing bermain didepan pintu rumah, anak-anak ayam bermain dibawah tubuh induknya, aku dan salah satu warga setempat Membicarakan mengenai orang-orang yang tingal di kampung Naga, membahas umur, dan apa pekerjaannya. Pukul dua belas siang aku dan yang lainnya bersiap meninggalkan kampung Naga, kami berfoto bersama dengan beberapa warga disekitar tempat kami tinggal, lalu kami berjalan menjauh dari rumah-rumah yang saling berdekatan dan mulai menaiki satu persatu tangga. Informasi yang aku dapatkan dari warga setempat Kampung Naga: Total rumah tradisyonal di Kampung Naga ada 111. 

        Sistem pemerintahan didesa ini dipegang oleh orang keturunan, Pak Uncen seorang pemaku adat paling utma dan Pak Lebek merupakan seorang pemaku Agama. Ada banyak orang asli Kampung Naga juga yang sudah tidak tinggal di Kampung Naga melainkan tinggal di desa atas, orang-orang itu disebut Sananda, mereka meninggalkan Kampung Naga salah satu penyebabnya adalah karena tak ada cukup ruang lagi untuk membangun ruamh di Kampung Naga. Keluar dari kawasan kampung naga, hatiku mulai merindukan Jogja dengan senjanya dan langit malamnya, dengan senang aku berpamitan dengan Tasikmalaya, “Terimakasih Tasikmalaya, semoga aku bisa menjelajahi keseluruhanmu diwaktu yang akan mendatang nanti <3”.

Borobudur

Ini sekitar kali ke 4 aku mengunjungi Borobudur. Kali ini aku mengunjung borobudur karena ada kelas sejarah sekaligus arkeologi bersama tema...